Assalamu'alaikum Wr. Wb.

ASSALAMU'ALAIKUM WR. WB.
Selamat datang di blog saya, silahkan baca dan download jika bermanfaat.

Dynamic Blinkie Text Generator at TextSpace.net
Selasa, 10 Mei 2011

postheadericon GENDER MENURUT ISLAM


Penulis pada suatu waktu diminta untuk memberikan materi pada acara yang diadakan oleh satu LSM, dan mereka meminta penulis untuk menyampaikan materi tentang Gender dalam Islam. kebetulan pada saat itu diundang pula Pendeta dan TOGA lainnya, dengan peserta mayoritas Katolik dan Protestan, inilah diantara materi yang penulis sampaikan :
Perbedaan pendapat tentang "Gender" selalu hangat untuk diperdebatkan, oleh kalangan agamawan, akademisi, politisi bahkan ibu rumah tangga. Umumnya perdebatan yang terjadi terkait masalah batasan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Hak dan kewajiban dalam setiap aspek kehidupan, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Kata "Gender" sampai dengan sekarang masih dalam pengertian yang rancu di kalangan pengkajinya. Nasaruddin Umar dalam Jurnal Paramadina menyebutkan kata gender yang berasal dari bahasa Inggris berarti "jenis kelamin". Webster's New World Dictionary, mengartikan jender sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Selanjutnya, H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan. Nasaruddin Umar menyebutkan bahwa kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah "Jender". Gender diartikan sebagai "interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan". Selanjutnya, ia menyimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya (An-zhimah Al-Mujtama). Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. Artinya, jika gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, maka sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi.
Terhadap pria dan wanita, Islam bersikap demikian egaliter. Islam secara tegas menolak hierarki berdasarkan gender di tengah-tengah masyarakat. Pria bukanlah warga kelas satu dan wanita bukanlah warga kelas dua. Pola hubungan pria-wanita dalam Islam adalah berdasarkan kemitraan dalam ketakwaan dan kebajikan, bukan relasi majikan dengan bawahan. Sebab, secara fitri, manusia, baik pria maupun wanita, diberi potensi kehidupan yang sama oleh Allah Swt. Kebutuhan jasmani, naluri, dan akal keduanya adalah setara. Di depan hukum syariat, kedudukan pria dan wanita adalah juga setara. Mereka adalah mukallaf yang memiliki tanggung jawab untuk menjalankan syariat Allah Swt. Dalam berbagai nash, seruan kepada wanita sama dengan seruan yang ditujukan kepada pria, baik dengan sebutan “manusia” atau “orang-orang yang beriman”.
Hubungan pria dan wanita pada institusi pernikahan sendiri lebih dari sekadar hubungan kemitraan. Dalam pandangan Islam, seorang istri adalah sahabat (shâhibah) suami dalam keluarga. Secara bersama, dengan jalinan ikatan pernikahan, mereka wajib membangun keluarga dengan peran dan tanggung jawab yang telah ditentukan oleh syariat. Seorang suami berperan sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah, sementara wanita adalah seorang ibu dan ‘manajer’ rumah tangga mereka. Pada wanita, juga ada hak penyusuan dan pengasuhan anak. Berbagai nash dikemukakan oleh Syaikh Taqiyuddin yang menunjukkan bahwa kaum ibu memiliki hak pemeliharaan bagi anak-anak mereka yang masih kecil. Diantara nash (dalil) Al-qur’an yang menyatakan hal tersebut adalah:
“ Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, ....”. (Al-Ahqaaf:15)
Hukum perkawinan dalam Islam adalah jelas dan selaras dengan sifat dasar manusia. Dengan mempertimbangkan penciptaan sisi fisiologi dan psikologi pria dan wanita, keduanya mempunyai hak dan kewajiban yang sama antar satu dengan yang lain, kecuali satu kewajiban, yaitu kepemimpinan.  Hal ini adalah sesuatu yang alami sejauh pengamatan saya dalam hidup ini, dan konsisten terhadap keadaan alami pria. Al-Qur’an menegaskan :
” Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (QS. Al-Baqoroh:228)
Kelebihan itu adalah Qowamah (pemeliharaan dan perlindungan). Hal ini merujuk pada perbedaan alami antara dua jenis kelamin yang mewajibkan jenis yang lebih lemah mendapatkan perlindungan. Hal ini tidak menyiratkan adanya superioritas atau kelebihan di mata hukum. Namun peran kepemimpinan laki-laki dalam keluarganya tidak berarti seorang suami menjadi diktator atas isterinya. Islam menekankan pentingnya nasehat dan persetujuan bersama dalam diskusi keluarga. Al-Qur’an memberi kita contoh:
” Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya” (QS. Albaqarah:233)
Di atas hak-hak dasar seorang isteri, ada hak yang ditekankan dalam Al-Qur’an dan sangat dianjurkan oleh Rasulullah salallahu alaihi wasallam; perlakuan yang baik danTpersahabatan.
Mukmin terbaik adalah yang paling baik akhlaknya, dan yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik perlakuannya terhadap isterinya.” (HR Ahmad no. 7396)
Perhatikanlah, banyak wanita yang mendatangi isteri-isteri Rasulullah mengadukan suami mereka (karena pemukulan), bahkan ada yang mengadukan suami mereka langsung kepada Rasulullah - sehingga Rasulullah menasehati dan jika sudah tidak bisa di satukan mereka diperbolehkan berpisah dengan baik-baik. Sebagaimana hak wanita untuk menyetujui sebuah perkawinan diakui, demikian pula haknya untuk menghakhiri perkawinannya yang tidak bahagia. Namun untuk memberikan stabilitas kepada keluarga, dan untuk melindunginya dari keputusan yang tergesa-gesa dibawah tekanan emosi sementara, beberapa langkah dan masa menunggu harus diperhatikan bagi pria dan wanita yang ingin bercerai. Mempertimbangkan keadaan alami wanita yang relative lebih emosional, sebuah alasan yang benar harus dihadapkan pada hakim sebelum bercerai. Namun demikian, sebagaimana pria, wanita dapat menceraikan suaminya tanpa melalui pengadilan, jika perjanjian pernikahan membolehkan.
Meski kesetaraan pria dan wanita adalah hal yang hakiki, tetapi tetap tidak bisa dipungkiri adanya realitas perbedaan biologis dan karakter di antara mereka berdua. Perbedaan itulah yang kemudian akan membedakan peran mereka dalam kehidupan publik dan domestik. Ketidaksamaan itu tidaklah datang dari suatu budaya atau tata nilai tertentu, tetapi justru merupakan bagian yang secara inheren telah melekat pada mereka sebagai bagian dari proses penciptaan. Dengan demikian, adanya sejumlah hukum syariat yang secara khusus ditujukan kepada kaum wanita ataupun pria adalah suatu kemestian. A-Qur’an memberikan pandangan optimis terhadap kedudukan dan keberadaan perempuan. Semua ayat yang membicarakan tentang Adam dan pasangannya, sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (dlamir mutsanna), seperti kata huma, misalnya keduanya memanfaatkan fasilitas sorga (Q., s. al-Baqarah/2:35), mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (Q., s. al-A'raaf/7:20), sama-sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima akibat terbuang ke bumi (7:22), sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni.Tuhan (7:23). Setelah di bumi, antara satu dengan lainnya saling melengkapi, "mereka adalah pakaian bagimu dan kamu juga adalah pakaian bagi mereka"(Q.,S. Al-Baqarah/2:187). Jika dilihat dari beberapa ayat diatas, maka Islam sangat memberikan perhatiannya terhadap keadilan antara laki-laki dan perempuan, semua di mata Allah SWT akan sama, kecuali dalam amalnya.
Demikian Islam memberikan kebebasan kepada perempuan yang bisa beraktivitas dalam politik, ekonomi dan sosial untuk bergerak di dalamnya, tetapi kemudian Islam memberikan nasihat kepada perempuan untuk tetap memberikan perhatian dan melakukan tindakan konkrit untuk selalu menjaga kehormatan diri, kehormatan suami, pendidikan anak dan menjaga harta keluarga, hal ini harus dilakukan bahkan sesibuk apapun perempuan di luar rumah tangga. (dari berbagai sumber)

Entri Populer

Jam Bismillah

UTAMA

About Me

Foto Saya
Abu Ghibran Al Ghifari
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut