Assalamu'alaikum Wr. Wb.

ASSALAMU'ALAIKUM WR. WB.
Selamat datang di blog saya, silahkan baca dan download jika bermanfaat.

Dynamic Blinkie Text Generator at TextSpace.net
Kamis, 12 Mei 2011

postheadericon Rukun Khutbah




Peranyaan dari Sudarmawan
assalamu alaikum,
kaif halk ustadz,smg tetap dalam lindungn Allah SWT sekeluarga, ammmiiin.  apa saja rukun kutbah itu, dan bagaimana hukum meninggalkan salah satu rukun khutbah tersebut? krn setahu ana,Syahadat itu termasuk rukun dari khutbah. krn ana pernah kutbah di suatu masjid sidoarjo, waktu itu di kutbah yang ke dua,ana tdk membaca sholawat, setelah selesai kutbah, takmirnya langsung berdiri dan menyatakan bahwa kutbah ana tidak sah, maka saat itu kutbah diulangi lagi oleh takmir. krn menurutnya, kalo kutbahnya tdk sah maka harus mengulangi solat. pertanyan ana: apa memang seperti itu?, kalo memang bener, pada jumat kemarin (9 mei 2009), khotib di mahad seingat ana dan juga teman teman, dia tidak membaca syahadat, waktu itu teman-teman tanya pada ana, namun ana suruh tanya yang lebih faham aja,karena saat itu, ustad fauzi serta ustadz wafi serta ustadz-ustadz yang lain juga ada di sana. kalo memang itu salah, hendaknya di tegur supaya tidak terulang lagi. sukron, af 1.
 Jawab
Wa’alaikum salam warahmatullaahi wabarakaatuh
Al hamdulillah saya sekarang dalam keadaan sehat. Ma’af kalau lama menunggu jawaban saya di blog, karena saya baru saja sakit, sehingga nggak bisa nulis lama di depan komputer. Dan ma’af kepada penanya yang lain yang mungkin udah cukup lama menunggu jawabannya.
Tentang rukun khutbah para ulama madzhab empat tidak sepakat berapa jumlahnya dan bahkan apakah khutbah jumat itu sendiri memiliki rukun yang tidak boleh ditinggalkan sama sekali, mereka berbeda pendapat. Madzhab Syafi’I dan Ahmad di satu sisi dan Madzhab Maliki dan Hanafi di sisi lain. Sebab perbedaan itu adalah karena tidak ada perintah khusus dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang cara berkhutbah. Tetapi yang ada adalah riwayat-riwayat yang menyebutkan tentang cara dan kata-kata yang diucapkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang berkhutbah. Jadi hanya perbuatan beliau saja yang diriwayatkan, bukan perintahnya. Sedangkan para ulama sepakat bahwa sunnah qouliyah nilai dalalahnya terhadap suatu hukum lebih rendah daripada sunnah qouliyah yang berupa perintah dan larangan. Jumhur ulama sepakat bahwa perintah itu pada dasarnya menunjukkan kewajiban dan larangan itu menunjukkan keharaman. Tetapi perbuatan-perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih harus diselidiki lebih dahulu, tidak selamanya menunjukkan kewajiban. Inilah beda antara sunnah qouliyah dan sunnah fi’iliyah dalam penunjukkannya terhadap suatu hukum.
Nah dalah khutbah ini yang diriwayatkan adalah hanya kebiasaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja dalam berkhutbah. Contohnya hadits yang diriwaatkan oleh Imam Muslim ( V/404, no. 2043) :
عن جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قال :  كَانَتْ خُطْبَةُ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ الْجُمُعَةِ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِى عَلَيْهِ ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِ ذَلِكَ وَقَدْ عَلاَ صَوْتُهُ
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa dia berkata : “Kebiasaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika berkhutbah pada Hari Jum’at adalah dia membaca hamdalah dan memuji Allah, kemudian dia mengatakan maksud khutbahnya setelah itu, sedangkan suaranya sudah meninggi”.
Demikian juga diriwayatkan hadits-hadits yang tentang membaca shalawat, ayat AlQur’an, berwashiat taqwa dan berdo’a untuk kebaikan kaum muslimin. Semuanya menceritakan kebiasaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada riwayat bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal itu. Beliau hanya membiasakannya. Karena itulah para ulama berbeda pendapat tentangnya.
Madzhab Syafi’I dan Ahmad berpendapat bahwa rukun khutbah itu ada 5, dengan adanya perbedaan diantara mereka apakah semuanya itu harus dilakukan di dalammasing-masing khutbah yang bejumlah dua itu ataukah cukup hanya dilaksanakan pada salah satu dari keduanya saja. Yaitu :
  1. membaca hamdalah
  2. berwashiat taqwa
  3. membaca shalawat kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
  4. membaca ayat Al Qur’an
  5. berdo’a untuk kaum mukimin
Sedangkan dua madzhab yang lain tidak menganggap semua yang disebutkan di atas itu sebagai rukun khutbah. Bahkan Madzhab Hanafi menyatakan bahwa satu khtbah saja suah cukup. Karena mereka berprinsip yang penting suatu perkataan dapat disebut sebagai khutbah menurut bahasa, maka itu sudah sah. Karena yang diperintahkan adalah berdzikir seperti yang disebutkan dalam Surat Al Jum’ah : “Maka segeralah menuju kepada dzikir kepada Allah”. Para ulama tafsir menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan dzikir di sini adalah khutbah, sedangkan perintah khusus untuk khutbah ini bagaimana tata caranya tidak dijelaskan. Jadi semuanya kembali kepada makna bahasa dari kata khutbah itu. Mereka menyebutkan sebuah atsar dari Utsman bahwa ketika beliau dibai’at pada hari pertamanya, kemudian beliau berkhutbah, maka beliau hanya mengucapkan Al Hamdulillah, kemudian menutup khutbahnya, turun dari mimbar dan shalat. Padahal kejadian ini dihadiri oleh para sahabat yang sangat banyak dan mereka tidak mengingkarinya ( Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu : II/442).
Adapun Madzhab Syafi’I dan Ahmad bersandar kepada sebuah hadits yang sangat masyhur : “Shalatlah kalian seperti melihat saya shalat”. Sedangkan kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam berkhutbah adalah dengan tidak meninggalkan kelima hal tersebut di atas.
Itulah pendapat dari para ulama madzhab empat tentang rukun khutbah.
Nah, mengikuti apa yang dibiasakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah sesuatu yang paling utama, apalagi jika hal itu dibiasakan oleh beliau sepanjang khutbahnya.
Tetapi karena tidak ada perintah yang tegas dalam hal ini, maka menganggapnya sebagai rukun adalah sesuatu yang menurut saya pribadi kurang pada tempatnya. Apalagi jika ada seorang khatib yang mungkin kelupaan dalam mengucapkannya salah satu dari kelima hal tersebut di atas, kemudian takmir masjid berdiri dan menyatakan kalau khutbahnya tidak sah adalah suatu tindakan yang tidak terpuji. Karena ada solusi lain yang lebih baik, diantaranya :
  1. mengingatkan khatib ketika masih berada di atas mimbar bahwa ada rukun yang tertinggal, sama seperti ketika seorang makmum mengetahui imamnya salah ketika shalat. Dia langsung mengingatkannya. Perintah untuk diam ketika khatib sedang berkhutbah, bukan berarti harus mbegegeg (tidak bergerak sama sekali) bahkan ketika melihat jelas ada orang yang akan bunuh diri di luar masjid misalnya. Ini suatu kekeliruan pemahaman yang cukup parah di negeri ini. Lihatlah sering kita melihat di banyak tempat orang yang berjamaah di mana baris di depannya kosong karena ditinggal oleh jama’ah yang berhadats untuk berwudlu. Tetapi orang ini tetap diam di tempat saja, tidak mau mengisi baris yang kosong itu, karena bergerak tiga kali lebih membatalkan shalat katanya.
  2. bisa jadi imam itu adalah mengikuti pendapat Madzhab Hanafi dan Maliki di mana mereka menganggap lima hal itu bukan rukun khutbah. Nah jika demikian, bukankah lebih baik saling toleransi antara sesama muslim, seperti pada masalah khilafiyah yang lain. Jika memang ada dalil khusus yang tegas dalam hal ini, saya yakin Imam Abu Hanifah dan Imam Malik akan menyatakan bahwa lima hal itu adalah rukun.
Adapun yang terjadi di ma’had kita beberapa hari yang lalu, seingat saya khatib sudah mengucapkan lima hal di atas, hanya dengan singkat sekali dan semuanya dengan bahasa Arab yang sangat pendek. Dan itu sudah memenuhi rukun jika memang semuanya tu dianggap sebagai rukun. Jadi tidak ada yang perlu dirisaukan dan dipermasalahkan dalam hal ini.
Saya kadang tidak habis pikir terhadap kebiasaan dan perilaku ummat ini. Mereka lebih memilih mempersulit diri dalam hal-hal yang bersifat khilafiyah, seperti pada permasalahan air misalnya, bersuci dari najis misalnya. Kadang-kadang mereka keterlaluan sekali dalam kehati-hatiannya. Seperti mereka yang berpendapat adanya air musta’mal. Mereka menyatakan bahwa jika membasuh tangan pada waktu wudlu, kemudian air itu dialiran sejak dari lengan, maka air yang akan sampai pada siku-siku sampai jari-jari adalah air yang musta’mal. Karena air itu sudah digunakan untuk membasuh bagian yang tidak wajib dibasuh, yaitu bagian atas siku-siku. Sebuah pendapat yang sama sekali tidak ada dasarnya.
Jika saja kehati-hatian itu diarahkan kepada sesuatu yang memang sangat perlu, terutama yang berhubungan dengan kemashlahatan umum, maka pasti ummat ini akan lebih baik. Misalnya kehati-hatian dalam masalah riba, dalam mencari rizki. Jika separoh saja dari ummat Islam di negri ini berhati-hati tentang masaah riba, pastilah bank-bank riba itu akan bangkrut dan bank-bank syari’ah akan jaya. Tapi apa yang terjadi justru sebaliknya. Padahal apalah artinya seseorang yang behati-hati dalam shalatnya, tetapi ceroboh dalam rizkinya. Tidak akan ada gunanya. Karena daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka neraka lebih layak untuknya.
(sumber : Samudra Ilmu Agama Islam)

0 komentar:

Entri Populer

Jam Bismillah

UTAMA

About Me

Foto Saya
Abu Ghibran Al Ghifari
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut